Kamis, 03 November 2016

on Leave a Comment

SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN DI DUNIA

Awal Gerakan Perempuan di Dunia 


Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang  sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh  kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan  (Sarah Grimke, 1837). Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an. Ketika itu para  perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta  huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih  mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam  pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton  dan Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan  sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai  menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati  banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih  feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis  yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir,  seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun  setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat.  Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai  didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah  membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti  perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga  kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan  kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam  kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami  berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan. 


Aliran-Aliran Gerakan Perempuan 


Gerakan perempuan tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu  negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola yang kadang berbeda, bahkan  ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami  interpretasi dan penekanan yang berbeda di beberapa tempat. Ide atau gagasan para feminis yang  berbeda di tiap negara ini misalnya tampak pada para feminis Itali yang justru memutuskan diri  untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya.  Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluasluasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali  lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri  dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National  Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini  mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki  sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de liberation des femmes ini  lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell  dan Ann Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal  dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum  perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat biologinya. Di dunia Arab, istilah  feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image barat yang melekat pada istilah tersebut.  Pejuang feminis di sana menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau  Islam seperti Nisa’i atau Nisaism.
Meski kemudian definisi feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis  tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi politik tertentu. Dan konflik yang terjadi di antara  feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan yang moderat. Misalnya  konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu  feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan  dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur  dengan tradisi politik yang dominan di suatu masa. Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi  politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubukubu sebagai berikut: 


1. Feminisme Radikal 


2. Feminisme Liberal. (Keduanya lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal
sebagai kelompok feminis-ideologis). 


3. Feminisme Sosialis atau Feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang dari sudut teori  kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas. 


4. Feminisme Ras atau Feminisme Etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan  perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna. Di luar kecenderungan tradisi politik di atas,  berkembang pula ragam feminisme karena pendekatan teori dan kecenderungan kelompok  sosial tertentu, seperti: 


5. Feminisme Psikoanalisis, dan Feminisme Lesbian. 


Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang menjadi beberapa  beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah diungkapkan di atas, wacana feminisme dan  gerakan perempuan akan terus berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat  yang memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang  membingkai perjuangan tersebut. Namun ada dua kategori kecenderungan besar yang dapat  disebutkan dan cukup dikenal dan berpengaruh hingga sekarang, yakni: fenimisme ortodoks dan  post-feminisme. 


Feminisme ortodoks 


Atau dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks  dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa  segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal,  hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor  studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai  kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban. Bagi kalangan feminis ortodoks  feminisme diartikan sebagai identifikasi dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan  historis yang dicapai dengan advokasi melalui kegiatan politik. Feminisme memperlihatkan adanya  perbedaan antara femnin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Sedangkan  jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis yang menentukan jenis kelamin lakilaki dan perempuan. Perbedaan linguistik ini bagi feminis ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang  ideologis. Sedangkan bagi kalangan postfeminisme dianggap sebagai masalah.
Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap perempuan  misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan perempuan, korban yang harus  selalu duilindungi dan selalu mengalami ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkhal. Argumen  semacam ini terkesan manipulatif dan tidak bertanggung jawab. Kalangan ini banyak diwakili oleh  femnistes revolusionares (FR) yang berdiri sejak tahun 1970 yang merupakan bagian dari Movement  de Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan perempuan. Kelompok FR ini tidak  menggunakan pendekatan psikoanalisa dan sangat mengagungkan kesetaraan serta rata-rata  didukung kalangan lesbian. Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis,  yaitu perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini (determinsime  biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional esensialisme. Teori ini (tradisonal  esensial) menekankan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan adalah fixed atau  kodrat yang tidak dapat berubah. Sementara menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat  patriarkhi menganggap perempuan sebagai “the other” dalam tataran biologis dan psikis.


Post-Femnisme 


Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai makhluk  lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat diterima oleh perempuan-perempuan muda  tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu”  mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kuda  “bosan” dengan femnisme. Feminisme sekan menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan  menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang  dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan post-feminisme.  Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris, tepatnya ketika mereka  (kelompok anggota po et psych/ politique et psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan  tanggal 8 Maret 1968 dan meneriakkan: Down with feminism. Sejak tahun 1960 kelompok  postfeminis ini telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkhal terutama wacana yang  dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR).
Bagi kelompok po et psych, posisi FR yang memakai semangat humanisme, jatuh lagi pada  esensialisme yang mempunyai kategori fixed. Oleh karenanya po et psych mengadopsi teori  psikoanalisa Freud yang mencoba menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks  ketertindasan perempuan. Selain itu kelompok ini tidak menekankan pada kesetaraan (equality)  seperti kelompok FR, yaitu identitas dan gender, tetapi lebih menekankan pada perbedaan  (diffrence). Di sini dapat dipahami bila postfeminisme membawa paradigma baru dalam feminisme,  dari perdebetan seputar kesetaraan ke perdebatan seputar perbedaan. Bagaimana perkembangan  aliran feminisme di Indonesia? Dapat dikatakan Indoensia masih mengalami euforia feminisme. Dan  seperti euforia lainnya, terkesan masih norak dengan situasi yang baru, Feminis di Indonesia reaktif  seperti feminis di barat di era 60-an dan 70-an.



Semua cataran dalam Sejarah Gerakan Perempuan Di Dunia ini meminjam karya sahabat Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I., M.A. dalam karya tulis beliau yang berjudul MANIFESTO WACANA KIRI.

Profil singkat sang penulis:

Kristeva, S.Pdi., M.A. Alumnus (S.1) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta/ Alumnus (S.2) Program  Pascasarjana Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial & Politik UGM/ Dosen Institut Agama Islam Imam  Ghozali (IAIIG) Kabupaten Cilacap/ Kader Kultural Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII)  Cabang Jogjakarta/ Direktur pada Komunitas Santri Progressif (KSP) Cilacap, Lembaga Kajian  Sosiologi Dialektis (LKSD) Cilacap-Jogjakarta/Institute for Philosophycal and Social Studies  (INSPHISOS) Cilacap-Jogjakarta/Komunitas Diskusi Eye On The Revolution + Revdem CilacapJogjakarta/ E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com/ skristeva@gmail.com 

Widgets. Diberdayakan oleh Blogger.

Berita Terbaru

Halaman